Yogyakarta (27/5) - Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (KP-MAK) Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada mengadakan seminar mengenai Dampak Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan Terhadap Jaminan Kesehatan Nasional secara daring. Hadir dalam seminar ini Anggota DJSN dari unsur tokoh/ahli, Muttaqien, MPH, AAK selaku narasumber bersama 3 narasumber lainnya dari Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan, Sekretaris Kompartemen Jaminan Kesehatan Persi dan Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt, MBA., M.Kes selaku moderator.
Lebih lanjut Muttaqien dalam paparannya menyebutkan terkait data Rumah Sakit yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan tahun 2020 yaitu rerata BOR 54% dengan BOR kelas rawat inap kelas 1 (57%), kelas 2 (48%) dan kelas 3 (56%). Disampaikan juga bahwa ES BOR diatas 70% berada di provinsi Aceh, Gorontalo dan Kalimantan Barat. Sedangkan RS dengan BOR dibawah 70% di provinsi Maluku, Papua dan Papua Barat. Sebagai informasi bahwa BOR adalah Bed Occupancy Rate rumah sakit adalah presentase pemakaian tempat tidur sebagai gambaran tinggi rendahnya pemanfaatan perawatan inap rumah sakit oleh Masyarakat.
Muttaqien menjelaskan bahwanya dalam PP 47 Tahun 2021 terdapat pembahasan mengenai Kelas Rawat inap Standar yang seyogyanya merupakan amanah dari UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN terkait penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan khususnya pasal 18 disebutkan bahwa jumlah tempat tidur untuk pelayanan rawat inap kelas standar paling sedikit 60% untuk RS Pemerintah Pusat dan Daerah, sedangkan 40% nya untuk RS Swasta. Pelayanan rawat inap kelas standar ini diterapkan paling lambat tanggal 1 Januari 2023.
Penyiapan implementasi kebijakan kelas standar ini anntinya akan dilakukan secara bertahap hingga benar mencapai kondisi yang ideal setelah melewati masa transisi. Menarik untuk dilihat adalah dampak adanya KRI JKN ini khususnya pada pola tarif dan rujukan di JKN. Salah satunya pada tarif dimana mungkin akan berdampak pada DJS BPJS Kesehatan. Namun ditekankan oleh Muttaqien bahwa perubahan kelas ini tetap memperhatikan peningkatan layanan yang diberikan. “Adanya KRI JKN akan merubah kelas dimana dalam masa transisi ada kelas A dan Kelas B sedangkan nanti kondisi ideal ada KRI JKN dan KRI non JKN, namun harus disertai dengan peningkatan pelayanan,” tegasnya.
Senada dengan itu, dr. Tonang Dwi Ardyanto dr.SpSK, PhD selaku Sekretaris Kompartemen Jaminan Kesehatan PERSI yang juga menjadi narasumber mengamini perbaikan pelayanan serta menyampaikan peran DJSN. “Kelas boleh berubah, level pelayanan mungkin akan tetap disitu. Sehingga dalam hal ini DJSN memayungi dengan mengarahkan dan mengsinkronkan sehingga pelayanan lebih baik, termasuk mengsinkronkan tarif dan nanti Rumah sakit mengikuti kebijakan yang ada,” jelasnya
Secara menyeluruh ada beberapa analisis yang disampaikan oleh Muttaqien sebagai dampak PP Nomor 47 Tahun 2021 ini yaitu, 1) Pengaturan presentasi penyediaan layanan rawat inap kelas standar menjadi penting untuk memastikan tersedianya layanan tersebut bagi peserta PBI JKN dan masyarakat miskin dan kurang mampu; 2) memungkinkan RS yang belum untuk bisa bekerjasama dengan BPJS Kesehatan; 3) indikasi bahwa kelas standar bukan kelas tunggal, dapat diperuntukkan bagi peserta PBI JKN maupun bukan peserta PBI JKN dan terakhir bahwa pola tarif dan rujukan di JKN yang akan mengalami perubahan membutuhkan kesiapan Rumah Sakit untuk melakukan antisipasi dampaknya.
Sebagai penutup, moderator, Dr. Diah Ayu Puspandari, Apt, MBA., M.Kes menyimpulkan bahwa perlu perhatian bersama antar Kementerian/Lembaga terkait bahwa implikasi perubahan regulasi ini akan berdampak kepada keuangan, SDM, Akses, sistem informasi dan juga di Pemerintahan ini sendiri.