Rapat Koordinasi Percepatan Regulasi Penyakit Akibat Kerja (PAK) : Urgensi dan Manfaat Diagnosis PAK
Jakarta (25/6)-DJSN hadiri Rapat Koordinasi Percepatan Regulasi Penyakit Akibat Kerja bersama Kementerian Koordinator Bidang PMK, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan. Rapat ini adalah tindaklanjut dari hasil rapat koordinasi antar K/L mengenai pelaksanaan PP Nomor 88 tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja dalam upaya mempercepat terbitnya regulasi terkait Penyakit Akibat Kerja (PAK)
Disampaikan oleh drg. Agus Supranto, M.Kes, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan-Kemenko PMK, bahwa pelaksanaan PP Nomor 88 tahun 2019 ini memiliki urgensi untuk segera ditindaklanjuti demi memberikan upaya perlindungan bagi pekerja. “Negara harus memperhatikan hak dan kewajibannya termasuk untuk perlindungan pekerja ini, sehingga perlu pembahasan lebih lanjut dengan memperhatikan semua dimensi. PMK akan mendukung upaya terkait regulasi ini,” tegasnya.
Lebih lanjut beliau menyampaikan bahwasanya PAK ini tidak terdiagnosis di fasyankes dikarenakan kurangnya payung hukum dan kemampuan SDM dalam tatalaksana PAK yang mengakibatkan beberapa hal seperti; PAK meningkat, kerugian pada pekerja, keparahan yang timbul karena tidak ditatalaksana sesuai penyebabnya dan tentunya pekerja tidak mendapatkan haknya dalam kompensasi PAK ini.
DJSN dalam hal ini mencoba menjembatani dengan mengeluarkan PerDJSN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Koordinasi Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan pada Dugaan Kasus Kecelakaan Kerja dan Dugaan Kasus Penyakit Akibat Kerja. Tertuang dalam pasal 4 PerDJSN Nomor 1/2021 ini bahwa penjaminan pelayanan manfaat kesehatan peserta pada dugaan kecelakaan kerja dan dugaan penyakit akibat kerja sebelum diagnosis ditegakkan berlaku mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.02/2018 tentang Koordinasi Antar Penyelenggara Jaminan dalam Pemberian Manfaat Pelayanan Kesehatan.
Disampaikan Dwi Dermawan dari DJA Kementerian Keuangan bahwa hadirnya PMK 141/ 2018 untuk memberikan pedoman penyelenggaraan sehingga Pasien/korban mendapatkan perlindungan yang lebih baik, lebih mudah dan lebih cepat sesuai haknya. Selain itu juga faskes mendapatkan kepastian yang lebih baik mengenai pembayaran atas biaya pelayanan yang telah diberikan; dan menempatkan peran penyelenggara Jamsos sesuai dengan program yang diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Faktanya, penyelenggaraan PAK ini masih belum sepenuhnya optimal dilaksanakan, sehingga perlu meriview kembali kepada Undang-Undang yang mengatur tentang PAK ini untuk kemudian disesuaikan.
Anggota DJSN, dr. Asih Eka Putri, MPPM. dalam kesempatan ini juga menyampaikan bahwa salah satu alasan kenapa perlu percepatan terbitnya regulasi diagnosis penyakit akibat kerja ini menjadi urgent karena meningkatnya klaim BPJS Kesehatan yang seharusnya dibebankan pada BPJS Ketenagakerjaan. Disampaikan juga bahwa penyelenggaraan PAK ini tidak bisa dioperasionalkan dilapangan karena adanya hambatan akibat ketidaksinkronan regulasi yang ada. Tentunya dalam hal ini yang paling berdampak adalah kepada pekerja itu sendiri.
“Dampaknya kepada peserta, termasuk hak untuk mendapatkan santunan. Selain itu efeknya juga kepada ketahanan dana Jamsos, dimana nanti dibebankan kepada JKN,” jelasnya.
Penjelasan dari dr. Asih ini bahwa jangan sampai pembiayaan yang seharusnya bukan menjadi tanggungan JKN, namun karena regulasi yang tidak sinkron dan pelaksanaan yang tidak tertib, maka menjadi tidak tepat sasaran. Akibatnya adalah ketahanan dana jamsos juga peserta yang semakin dirugikan. Memang tidak mudah untuk segera bisa melaksanakan jaminan sosial yang ideal, namun bukan tidak mungkin untuk dilakukan dengan terus melakukan perbaikan tatakelola dan memaknai falsafah dan amanat Undang-Undang SJSN dengan baik.
Perlu dukungan dan koordinasi antara Kementerian Kesehatan, Kemenko PMK, Kementerian Keuangan dan juga tentunya DJSN sehingga diharapan ada regulasi untuk payung hukum penegakkan diagnosis PAK ini.