Jakarta - Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dari Unsur Tokoh dan atau / unsur Ahli Muttaqien, menjelaskan Potret Jaminan Sosial di Indonesia sebelum dan saat Pandemi Covid 19. Senin (31/5) secara daring yang dilaksanakan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, FISIPOL UGM.
Sebelum JKN ada istilah yang masyhur di masyarakat SADIKIN (Sakit sedikit menjadi miskin) dan JAMILA (jadi miskin lagi).
Sehingga ketika masyarakat sakit, ada 3 opsi bagi mayarakat dengan kapabilitas finansial yang terbatas yaitu memaksakan diri mengakses layanan kesehatan yang di dibutuhkan sehingga menguras tabungan dan masuk ke jurang kemiskinan.
Kedua, mengakses layanan kesehatan yang mampu dibayar saja, dampaknya tentu akan memperburuk status kesehatan, menurunkan kapasitas kerjanya dan menurunkan penghasilannya.
dan yang terakhir tidak mengakses pelayanan kesehatan sama sekali dan mengabaikan kondisi kesehatannya.
"Oleh sebab itu, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 dan UU Nomor 24 tahun 2011 setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang/ berkurangnya pendapatan karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, dan memasuki usia lanjut atau pensiun". Jelas Muttaqien.
Setelah 7 tahun berjalan banyak sekali isu muncul di masyarakat, yaitu defisit struktural. Dimana BPJS Kesehatan tidak mampu membyar klaim ke rumah sakit. hal ini terjadi karena iuran di bawah perhitungan aktuaria, adverse selection, kepesertaan rendah, serta biaya katastropik yang membutuhkan biaya tinggi.
"hal ini akhirnya menggerogoti kepercayaan publik, padahal kalau kita lihat banyak sekali manfaat-manfaat yang didapatkan dari program JKN ini" ujar Muttaqien.
Pemerintah terus mendorong agar program ini terus berlanjut dan meningkatkan kualitasnya, maka perlu penyesuaian iuran yang sesuai dengan hitungan aktuaria dan kemampuan membayar. Oleh karena itulah dikeluarkanlah Perpres Nomor 64 Tahun 2020.
"Dengan dilakukan penyesuaian iuran yang dilakukan pada tahun 2020 lalu menunjukkan bahwa sejak Juli 2020 tidak ada lagi Rumah sakit yang tidak dibayarkan klaim nya oleh BPJS Kesehatan" kayanya.
Kepesertaan Non aktif terus mengalami peningkatan karena pandemi covid 19. pada tahun 2019 jumlah peserta tidak aktif sekitar 20 juta dan pada tahun 2020 meningkat menjadi sekitar 24 juta. dan Maret 2021 betambah menjadi 28.7 juta peserta yang tidak aktif.
Selain itu, dampak pandemi lainnya adalah akses di faskes turun di tahun 2020. Pada tahun 2019 jumlah kunjungan FKTP dan perhari mencapai 494.155 turun menjadi 400.420 artinya ada kekhawatiran masyarakat untuk mengunjungi fktp karena covid 19.
Rasio klaim di tahun 2016 hampir 100% sedangkan penerimaan iurannya hanya 67 % sedangkan saat pandemi Covid 19 pada tahun 2020 rasio klaim nya turun menjadi sekitar 70%.
Dari sisi jaminan sosial ketenagakerjaan, secara umum terjadi penurunan cakupan kepesertaan, misalnya pada tahun 2019 dalam program JKK/JKm cakupannya sekitar 27.16% pada tahun 2020 nya turun menjadi 23.34%. Begitu juga dengan program JHT pada tahun 2019 cakupannya sekita 12.84%, pada tahun 2020 turun menjadi 12.13 %. Program jaminan pensiun juga mengalami penurunan, pada tahun 2019 cakupannya 10.22% pada tahun 2020 mengamai penurunan menjadi 9,75%.
Namun demikian pada saat pandemi covid 19 Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 49 Tahun 2020 tentang penyesuaian iuran Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan guna memberikan kelonggaran batas waktu pembayaran iuran JKK, JKm, Iuran JHT, dan Iuran JP setiap bulan dari tanggal 15 ke tanggal 30 bulan berikutnya.
Selain itu memberikan keringanan iuran JKk dan iuran JKM (pemotongan 99%) serta penundaan pembayaran sebagian iuran Jaminan Pensiun.
Arah kebijakan Jaminan Sosial kedepan adalah membangun ekosistem implementasi program SJSN yang komprehensif dan terpadu untuk keberlanjutan SJSN baik melalui regulasi, institusional, operasional, teknis, dan sumberdaya