Jakarta – “Pertumbuhan kepesertaan telah memenuhi target peta jalan pada tahun 2019 dengan capaian 80,95% dan 2020 dengan capaian 87,05% dan diproyeksikan pada draf Peta Jalan Jaminan Sosial 2020-2024 untuk target kepesertaan JKN mencapai 98% dan pada tahun 2030 telah mencapai 100%,” ujar Mutaaqien, Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam seminar “Diseminasi Hasil Kajian Industri Rumah Sakit”, Kamis (3/12).
Pertumbuhan kepesertaan tersebut akan berdampak juga pada perkembangan jumlah mitra dari BPJS Kesehatan sebagai provider yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat berupa RS Pemerintah, RS Swasta, RS TNI, RS Polri, RS Jiwa, dan Klinik Utama.
“Pada kurun waktu 2014-2019 terjadi peningkatan pertumbuhan Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan pada FKTP (meliputi Puskesmas, Dokter Praktik Perorangan, Klinik TNI/Polri, Klinik Pratama, RS D Pratama, dan Dokter Gigi Praktik Perorangan) yang mencapai 27,08% dan FKRTL (meliputi Rumah Sakit dan Klinik Utama) yang mencapai 45,63%.,” kata Muttaqien.
Pembiayaan Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL) menghabiskan biaya paling tinggi dan terus meningkat setiap tahun dibandingkan dengan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP), Rawat Inat Tingkat Pertama (RITP), maupun Rawat Jalan Tingkat Lanjut (RJTL).
Namun iuran yang dibayar oleh peserta JKN tidak sebanding dengan CPMPM (Cost Per Member Per Month) menurut kaidah perhitungan aktuaria yang menyebabkan adanya defisit yang mengakibatkan gagal bayar. Sedangkan untuk penyerapan biaya pelayanan kesehatan pada tahun 2019 lebih besar di FKRTL yang mencapai 85% dan FKTP hanya 15%, dengan demikian maka harus ada strategi yang digunakan untuk memperkuat FKTP.
“Permasalahan tersebut perlu dibenahi sehingga ekosistem JKN dapat sustain dan berkualitas. Langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah dengan Penyesuaian Manfaat melalui Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK), Kelas Rawat Inap JKN, perbaikan tarif INA-CBGs (fairness), Global Budget mix CBGs (dari restropective payment menjadi prospective payment), kapitasi dan kinerja, cost containment, penguatan Koordinasi Antar Penyelenggara Jaminan (disebut juga CoB), penyesuaian iuran berdasarkan akturia dan ATP (keadilan sosial), serta kolektabilitas yang tinggi,” jelas Muttaqien.